Pola Dari Kepribadian, Nilai dan Gaya Hidup
Kepribadian
Goldon Allport
mendefinisikan personality/kepribadian sebagai suatu organisasi dinamik
dari system-sitem psikologis dalam individu yang menentukan penyesuaian
yang unik terhadap lingkungannya.
Kepribadian memiliki pengertian yang luas, kepribadian bukan hanya mencakup sifat-sifat yang positif, sifat-sifat yang menarik ataupun segala sesuatu yang nampak secara lahiriah, ettapi juga meliputi dinamika individu tersebut. Kepribadian adalah organisasi yang dinamis dari sistem psikofisis individu yang menentukan penyesuaian dirinya terhadap lingkungannya secara unik.Kepribadian bisa dijelaskan dengan menggunakan ciri-ciri seperti kepercayaan diri, dominasi, otonomi, ketaatan, kemampuan bersosialisasi, daya tahan dan kemampuan beradaptasi Dalam batasan kepribadian yang dikemukakan di atas ada 4 hal yang perlu diuraikan yakni :
Kepribadian memiliki pengertian yang luas, kepribadian bukan hanya mencakup sifat-sifat yang positif, sifat-sifat yang menarik ataupun segala sesuatu yang nampak secara lahiriah, ettapi juga meliputi dinamika individu tersebut. Kepribadian adalah organisasi yang dinamis dari sistem psikofisis individu yang menentukan penyesuaian dirinya terhadap lingkungannya secara unik.Kepribadian bisa dijelaskan dengan menggunakan ciri-ciri seperti kepercayaan diri, dominasi, otonomi, ketaatan, kemampuan bersosialisasi, daya tahan dan kemampuan beradaptasi Dalam batasan kepribadian yang dikemukakan di atas ada 4 hal yang perlu diuraikan yakni :
- dinamis, berarti kepribadian selalu berubah. Perubahan ini digerakkan oleh tenaga-tenaga dari dalam diri individu yang bersangkutan, akan tetapi perubahan tersebut tetap berada dalam batas-batas bentuk polanya.
- organisasi system, ini mengandung pengertian bahwa kepribadian itu merupakan suatu keseluruhan yang bulat.
- psikofisis, ini berarti tidak hanya bersifat fisik dan juga tidak hanya bersifat psikis tetapi merupakan gabungan dari kedua sifat tersebut.
- unik, berarti kepribadian antara individu yang satu dengan yang lain tidak ada yang sama.
Kepribadian
memiliki banyak segi dan salah satunya adalah self atau diri pribadi
atau citra pribadi. Mungkin saja konsep diri actual individu tersebut
(bagaimana dia memandang dirinya) berbeda dengan konsep diri idealnya
(bagaimana ia ingin memandang dirinya) dan konsep diri orang lain
(bagaimana dia mengganggap orang lain memandang dirinya). Keputusan
membeli dipengaruhi oleh karakteristik pribadi seperti umur dan tahap
daur hidup, pekerjaan, situasi ekonomi, gaya hidup serta kepribadian dan
konsep diri pembeli.
Dimensi kepribadian :
1. ekstraversi
suatu dimensi kepribadian yang mencirikan seseorang yang senang bergaul dan banyak bicara dan tegas.
2. sifat menyenangkan
suatu dimensi kepribadian yang mencirikan seseorang yang baik hati, kooperatif dan mempercayai.
3. sifat mendengarkan kata hati
suatu dimensi kepribadian yang mencirikan seseorang yang bertanggung jawab, dapat diandalkan, tekun dan berorientasi prestasi
4. kemantapan emosional
suatu dimensi kepribadian yang mencirikan seseorang yang tenang, bergairah,terjamin (positif), lawan tegang, gelisah,murung dan tak kokoh (negative).
5. keterbukaan terhadap pengalaman
suatu dimensi kepribadian yang emncirikan seseorang yang imajinatif, secara artistic peka dan intelektual.
Nilai (human values)
Untuk memahami pengertian nilai secara lebih dalam, berikut ini akan disajikan sejumlah definisi nilai dari beberapa ahli.
“Value
is an enduring belief that a specific mode of conduct or end-state of
existence is personally or socially preferable to an opposite or
converse mode of conduct or end-state of existence.” (Rokeach, 1973 hal.
5)
“Value is a general beliefs about desirable or undesireable ways of behaving and about desirable or undesireable goals or end-states.” (Feather, 1994 hal. 184).
“Value as desireable transsituatioanal goal,
varying in importance, that serve as guiding principles in the life of a
person or other social entity.” (Schwartz, 1994 hal. 21)“Value is a general beliefs about desirable or undesireable ways of behaving and about desirable or undesireable goals or end-states.” (Feather, 1994 hal. 184).
Lebih
lanjut Schwartz (1994) juga menjelaskan bahwa nilai adalah (1) suatu
keyakinan, (2) berkaitan dengan cara bertingkah laku atau tujuan akhir
tertentu, (3) melampaui situasi spesifik, (4) mengarahkan seleksi atau
evaluasi terhadap tingkah laku, individu, dan kejadian-kejadian, serta
(5) tersusun berdasarkan derajat kepentingannya.
Berdasarkan
beberapa pendapat tersebut, terlihat kesamaan pemahaman tentang nilai,
yaitu (1) suatu keyakinan, (2) berhubungan dengan cara bertingkah laku
dan tujuan akhir tertentu. Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai adalah
suatu keyakinan mengenai cara bertingkah laku dan tujuan akhir yang
diinginkan individu, dan digunakan sebagai prinsip atau standar dalam
hidupnya.
Pemahaman tentang nilai tidak terlepas dari pemahaman
tentang bagaimana nilai itu terbentuk. Schwartz berpandangan bahwa nilai
merupakan representasi kognitif dari tiga tipe persyaratan hidup
manusia yang universal, yaitu : kebutuhan individu sebagai organisme biologis.
Persyaratan interaksi sosial yang membutuhkan koordinasi interpersonal tuntutan
institusi sosial untuk mencapai kesejahteraan kelompok dan kelangsungan
hidup kelompok (Schwartz & Bilsky, 1987; Schwartz, 1992, 1994). Jadi,
dalam membentuk tipologi dari nilai-nilai, Schwartz mengemukakan teori
bahwa nilai berasal dari tuntutan manusia yang universal sifatnya yang
direfleksikan dalam kebutuhan organisme, motif sosial (interaksi), dan
tuntutan institusi sosial (Schwartz & Bilsky, 1987). Ketiga hal
tersebut membawa implikasi terhadap nilai sebagai sesuatu yang
diinginkan. Schwartz menambahkan bahwa sesuatu yang diinginkan itu dapat
timbul dari minat kolektif (tipe nilai benevolence, tradition,
conformity) atau berdasarkan prioritas pribadi / individual (power,
achievement, hedonism, stimulation, self-direction), atau kedua-duanya
(universalism, security). Nilai individu biasanya mengacu pada kelompok
sosial tertentu atau disosialisasikan oleh suatu kelompok dominan yang
memiliki nilai tertentu (misalnya pengasuhan orang tua, agama, kelompok
tempat kerja) atau melalui pengalaman pribadi yang unik (Feather, 1994;
Grube, Mayton II & Ball-Rokeach, 1994; Rokeach, 1973; Schwartz,
1994).
Nilai sebagai sesuatu yang lebih diinginkan harus
dibedakan dengan yang hanya ‘diinginkan’, di mana ‘lebih diinginkan’
mempengaruhi seleksi berbagai modus tingkah laku yang mungkin dilakukan
individu atau mempengaruhi pemilihan tujuan akhir tingkah laku
(Kluckhohn dalam Rokeach, 1973). ‘Lebih diinginkan’ ini memiliki
pengaruh lebih besar dalam mengarahkan tingkah laku, dan dengan demikian
maka nilai menjadi tersusun berdasarkan derajat kepentingannya.
Sebagaimana
terbentuknya, nilai juga mempunyai karakteristik tertentu untuk
berubah. Karena nilai diperoleh dengan cara terpisah, yaitu dihasilkan
oleh pengalaman budaya, masyarakat dan pribadi yang tertuang dalam
struktur psikologis individu (Danandjaja, 1985), maka nilai menjadi
tahan lama dan stabil (Rokeach, 1973). Jadi nilai memiliki kecenderungan
untuk menetap, walaupun masih mungkin berubah oleh hal-hal tertentu.
Salah satunya adalah bila terjadi perubahan sistem nilai budaya di mana
individu tersebut menetap (Danandjaja, 1985).
Gaya Hidup ( Life Style )
Lebih
dari sekedar Gold Card. Citibank Garuda Indonesia Travel Festival.
Berlibur atau bisnis, terbang dengan harga spesial. Beli tiket Garuda
dengan Kartu Kredit Platinum/Gold untuk seluruh rute domestik, Anda
tidak saja mendapat diskon, tapi juga cicilan tetap dan ringan dari
Citibank EazyPay. Di bawahnya terdapat sederet penawaran tiket Garuda
kelas ekonomi ke berbagai kota di Indonesia berikut cicilannya dalam dua
belas bulan.
Iklan yang muncul beberapa waktu yang lalu,
sungguh menarik perhatian dan pantas untuk ditelaah. Apa yang tergambar
di benak Anda jika seseorang pemegang kartu kredit Citibank
Platinum/Gold. Mungkin Anda akan beranggapan bahwa mereka selalu naik
pesawat kelas bisnis atau first class, dan tidak akan membayar tiket
dengan cara mencicil. Tetapi Citibank tentu punya alasan tersendiri yang
tentunya didukung oleh data-data yang dimiliki, sehingga ia menawarkan
kelas ekonomi untuk pemilik kartu ini dan dengan cara mencicil pula.
Bisa jadi anggapan-anggapan yang berkembang selama ini salah.
Keyataan
lain juga cukup mendukung. Di tengah krisis yang belum juga usai, kita
lihat mobil-mobil mewah berseliweran di jalan raya. Model-model baru
selalu ditawarkan, dan laku. Telepon seluler ? Sama juga. Model-model
baru selalu muncul, dan dalam jangka waktu tidak terlalu lama, akan
tergantikan oleh model baru. Barang elektronik ? Sama juga. Liburan juga
banyak ditawarkan. Sesuatu yang menonjol yang perlu diamati, hampir
semuanya ditawarkan dengan sistem kredit. Beberapa tahun yang lalu
mungkin belum terbayangkan orang berlibur, tetapi bayarnya mencicil
dibelakang.
Inilah salah satu aspek penting kenapa gaya hidup
harus dipertimbangkan, disamping data demografis yang seringkali
menyesatkan dalam memahami perilaku konsumen. Seorang karyawati mungkin
rela merogoh kantongnya lebih dalam dan bersedia menyisihkan gajinya
untuk mencicil selama setahun demi sebuah tas Louis Vuitton, Channel,
Gucci, Prada dan sejenisnya. Sementara seorang pedagang Glodok yang
omsetnya puluhan juta per hari mungkin merasa sayang untuk mengeluarkan
uang sebesar itu untuk sebuah tas. Rokok kretek tak berfilter yang
paling mahal adalah Dji Sam Soe, tetapi pembelinya bukan hanya orang
yang secara demografis berpenghasilan tinggi, tetapi juga yang
berpenghasilan rendah dengan membeli ketengan.
Gaya hidup adalah
perilaku seseorang yang ditunjukkan dalam aktivitas, minat dan opini
khususnya yang berkaitan dengan citra diri untuk merefleksikan status
sosialnya. Gaya hidup merupakan frame of reference yang dipakai sesorang
dalam bertingkah laku dan konsekuensinya akan membentuk pola perilaku
tertentu. Terutama bagaimana dia ingin dipersepsikan oleh orang lain,
sehingga gaya hidup sangat berkaitan dengan bagaimana ia membentuk image
di mata orang lain, berkaitan dengan status sosial yang disandangnya.
Untuk merefleksikan image inilah, dibutuhkan simbol-simbol status
tertentu, yang sangat berperan dalam mempengaruhi perilaku konsumsinya.
Fenomena
ini pokok pangkalnya adalah stratifikasi sosial, sebuah struktur sosial
yang terdiri lapisan-lapisan : dari lapisan teratas sampai lapisan
terbawah. Dalam struktur masyarakat modern, status sosial haruslah
diperjuangkan (achieved) dan bukannya karena diberi atau berdasarkan
garis keturunan (ascribed). Selayaknya status sosial merupakan
penghargaan masyarakat atas prestasi yang dicapai oleh seseorang. Jika
seseorang telah mencapai suatu prestasi tertentu, ia layak di tempatkan
pada lapisan tertentu dalam masyarakatnya. Semua orang diharapkan
mempunyai kesempatan yang sama untuk meraih prestasi, dan melahirkan
kompetisi untuk meraihnya.
Di Amerika Serikat kelas sosial ini
seperti yang diklasifikasikan oleh Coleman menjadi 7 kelas sosial
masing-masing kelas Atas-Atas, Atas Bawah, Menengah Atas, kelas
Menengah, kelas Pekerja, Bawah Atas, Bawah-Bawah.
Sementara di
Kota Jakarta, hasil penelitian Sosiologi UI yang tertuang dalam Rencana
Umum Pembangunan Sosial Budaya DKI Jakarta 1994-1995, dapat
distratifikasikan dalam lima strata, yaitu lapisan elite, lapisan
menengah, lapisan peralihan, lapisan bawah, dan lapisan terendah.
Dalam
perilaku konsumen secara samar orang membedakan pengertian kelas sosial
dengan pengertian status sosial. Jika kelas sosial mengacu kepada
pendapatan atau daya beli, status sosial lebih mengarah pada
prinsip-prinsip konsumsi yang berkaitan dengan gaya hidup.
Dalam
masyarakat kosmopolit yang pluralistik, status sosial ini dengan mudah
dapat dimanipulasi. Dalam masyarakat metropolis tidak mudah melacak
status sosial sebenarnya dalam hirarki sosial. Seseorang mempunyai
pilihan apakah dia ingin memproyeksikan diri sesuai dengan resources
yang dimiliki, atau dengan memilih memproyeksikan diri lebih tinggi dari
seharusnya, atau mungkin justru bersikap low profile dengan memilih
memproyeksikan lebih rendah dari yang seharusnya. Pembelian simbol
status secara kredit merupakan upaya untuk menempatkan diri di atas
resources yang dimiliki.
Seseorang dapat memproyeksikan status
sosial tertentu berdasarkan simbol status yang dimiliki. Tujuan
pemakaian simbol-simbol status ini adalah memproyeksikan citra diri
seseorang agar dipersepsi sebagai bagian dari kelas sosial tertentu.
Karena
dalam status ini tersimpan unsur prestise, maka pemakaian simbol status
menjadi penting. Kepemilikan simbol status diharapkan menimbulkan
respek orang lain untuk mendukung citra yang ingin ditampilkan sesuai
dengan status sosialnya.
Hal ini terkait dengan konsep diri (self
concept). Konsumen menganggap produk-produk tersebut dapat membantunya
untuk mengekspresikan citra apa yang ingin dipancarkan. Citra tersebut
dapat merefleksikan citra diri aktual (actual self) yang menggambarkan
gambaran saya yang sebenarnya (the real me) maupun citra diri ideal (the
ideal self) yang menggambarkan sosok yang diinginkan (the person Id
like to be). Produk ini dapat digunakan untuk kedua citra tersebut:
dapat digunakan untuk merefleksikan siapa diri kita, dan juga
dikesempatan lain dapat dimanfaatkan menjadi apa yang kita inginkan.
Dalam
era globalisasi, nilai-nilai egaliter merebak ke berbagai pelosok
dunia. Sebagian masyarakat mendapat kesempatan untuk mendaki tangga
sosial. Terjadi universalitas simbol-simbol status yang bukan hanya
berdasarkan jenis benda yang harus dimiliki, tetapi lebih spesifik lagi
adalah mereknya. Beberapa merek muncul menjadi bahasa untuk mengatakan
status sosial yang meningkat. Misalnya Rolex untuk jam tangan, jas hujan
Burberry, busana Giorgio Armani, dan pena Montblanc. Tujuan pemakaian
simbol-simbol status ini adalah memproyeksikan citra diri seseorang.
Salah
satu contoh segementasi psikografis adalah VALS 2. Dalam VALS 2 (Values
& Life Style) terdapat dua dimensi yang menjadi titik beratnya,
yaitu self orientation dan resources. Resources yang dimaksudkan
bukanlah semata-mata materi, tetapi dalam arti yang luas yang mencakup
sarana dan kapasitas psikologis, fisik, dan demografis. Dalam perilaku
konsumsi yang didorong oleh self orientation terdapat tiga kategori
yaitu principle, status dan action.
Self orientation yang
bertumpu pada principle, berarti keputusan untuk membeli berdasarkan
karena keyakinannya. Sehingga keputusannya untuk membeli bukan hanya
karena ikut-ikutan atau sekedar untuk mengejar gengsi. Boleh dikatakan
tipe ini lebih rasional. Sedangkan yang bertumpu pada status,
keputusannya dalam mengkonsumsi didominasi oleh apa kata orang.
Produk-produk branded menjadi pilihannya. Bagi yang bertumpu kepada
action, keputusan dalam berkonsumsi didasari oleh keinginannya untuk
beraktivitas sosial maupun fisik, mendapatkan selingan atau menghadapi
resiko. Spa mewah, caf berkelas, dan pertunjukan yang mendatangkan artis
internasional terkenal merupakan refleksinya.
Fenomena inilah
yang banyak ditemui pada saat ini. Jika logika ekonomi (yang seharusnya
negara masih dalam krisis ekonomi) tidak dapat diterapkan, maka memahami
perilaku konsumen dari sisi gaya hidup lebih dapat menjelaskan.
Kedatangan F 4, Las Ketchup, dan pementasan artis asing lainnya di
tengah krisis ekonomi yang juga belum berakhir, adalah fenomena gaya
hidup. Atau larisnya artis lokal macam Inul yang berhonor 150 juta
rupiah. Membidik gaya hidup merupakan jalan keluar bagi para pemasar di
tengah kelesuan ekonomi.
Jadi, Pola yang dapat dilihat dari
kepribadian, nilai, dan gaya hidup seseorang terkait dengan perilaku
konsumen dalam memilih suatu produk yang akan beli, karena suatu produk
yang akan dibeli semua harus memenuhi kebutuhan yang bersifat pribadi
dari seseorang.
Pola kepribadian juga sangat erat dengan
unsur-unsur nilai, dimana konsumen akan memilih suatu produk yang akan
dibeli berdasarkan nilai produk itu sesuai dengan gaya hidup maupun
kepribadian orang tersebut. Di era modernisai saat ini konsumen lebih
cenderung berorientasi pada gaya hidup dan mulai meninggalkan
nilai-nilai yang berlaku karena menurut para konsumen saat ini yang
dibutuhkan adalah suatu sistematik unsur yang sesuai dengan design
maupun life style yang sedang mode disaat waktu ini, dengan kata lain
orang lebih ingin dipandang orang lain agar konsumen itu sendiri tidak
dikatakan “tidak mode” atau “tidak fashionable”.
Sumber : http://septy-queeny.blogspot.com/2010/03/pola-dari-kepribadian-nilai-dan-gaya.html
0 comments:
Posting Komentar